Sabtu, 17 Oktober 2009

WAJO DAN DEMOKRASI (TINJAUAN HISTORIS TENTANG PEMERINTAHAN DI WAJO ZAMAN KERAJAAN)

Written by: Andi Adijah S, SPd.


Jauh sebelum Amerika menyebarkan paham demokrasi, Wajo telah menerapkan unsur-unsur demokrasi di negerinya sejak abad XV. Ketika kerajaan-kerajaan lain di nusantara menjalankan kekuasaan secara patrimonial dan absolut, Wajo justeru menjunjung tinggi “ade’ assituruseng” yaitu adat atau aturan yang lahir dari persetujuan bersama antara raja dan rakyat. Demikian pula tentang pemilihan raja, tatakala raja-raja di kerajaan lain diangkat secara turun temurun, Wajo malah bersifat elektif, tidak mutlak anak raja harus menjadi raja, sehingga tidak ada istilah putera mahkota.

Seorang raja Wajo bernama La Tadampare’ Puangrimaggalatung (Arung Matoa Wajo ke-4) yang memerintah sekitar 30 tahun (± 1491-1521), bukanlah putera raja Wajo dan bukan putera kelahiran tanah Wajo, melainkan pendatang dari kerajaan Bone. La Tadampare’ awalnya hanya seorang bangsawan yang dibuang oleh keluarganya karena telah melakukan sebuah kesalahan.Ketika tiba di Wajo ia bertaubat dan membuang semua sifat-sifat buruknya. Karena kemampuannya dalam mengatur siasat perang, pemberani, cakap, jujur dan bijaksana, akhirnya La Tadampare’ diminta oleh rakyat Wajo untuk menjadi Arung Matoa. Peristiwa ini menyiratkan bahwa jabatan raja di Wajo tidak diwariskan.


LAHIRNYA NEGERI WAJO

Tradisi lisan menyebutkan bahwa cikal bakal kerajaan Wajo erat kaitannya dengan pembuangan puteri raja Luwu yang berpenyakit kusta, bernama We Tadampali. Sang puteri terdampar di sebuah tempat yang kelak diberi nama Tosora (dari kata To ssore, artinya orang yang singgah atau terdampar perahunya), dan disembuhkan oleh jilatan kerbau balar. We Tadampali kemudian menikah dengan putera raja Bone yang datang berburu di tempat tersebut. Keduanya melahirkan banyak keturunan dan membentuk kampung Tosora. Pada perkembangan selanjutnya Tosora menjadi inti kerajaan Wajo.

Namun demikian kebenaran cerita tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang jelas catatan tertulis dari Lontara Sukkuna Wajo, menuliskan bahwa Wajo adalah rangkaian dari alur sejarah kerajaan kecil Cinnongtabik. Cinnongtabik terbentuk dari perkembangan sebuah perkampungan di sekitar danau bernama Lampulungeng (dari kata sipulung-pulung) yang pemimpinnya dipilih berdasarkan azas primus inter pares (pemilihan pimpinan berdasarkan musyawarah). Bekas arung Cinnongtabik yang bernama La Tenribali, diminta kesediaannya oleh rakyat untuk menjadi raja yang menaungi beberapa kerajaan kecil dibawah Cinnongtabik. La Tenribali menerima tawaran tersebut dengan ketentuan akan diadakan perjanjian terlebih dahulu antara raja dan rakyat.

Pada hari yang ditentukan sekitar bulan Maret 1436, diadakan perjanjian di Boli (daerah Majauleng sekarang) antara rakyat dan La Tenribali di bawah pohon kayu besar dan teduh bernama Aju Bajo (dari kata ta’bajowajo artinya bayang-bayang pohon tersebut menaungi orang-orang yang ada di bawahnya). Perjanjian ini mengatur hak-hak kebebasan rakyat Cinnongtabik yang belum tertera pada aturan terdahulu yang bernama ade’ rioloE. Pada saat itu pula disepakati merubah nama kerajaan Cinnongtabik menjadi Wajo dari kata wajo-wajo yang menyejukkan orang-orang yang bernaung di bawahnya.


SISTEM PEMERINTAHAN DI KERAJAAN WAJO

Sejak Batara Wajo I La Tenribali memerintah telah dibentuk aturan yang mengarah pada unsur-unsur demokrasi dengan memperhatikan kepentingan rakyat. Misalnya ade’assituruseng = adat atau hukum yang lahir dari persetujuan bersama antara raja, penguasa adat dan rakyat, ade’ maraja = adat besar bagi raja-raja, ade’abiasang = adat kebiasaan dari rakyat, tuppu’ = aturan yang mengatur tingkat-tingkat adat dan hubungan hukum antara seorang ayah dan anaknya, wari’= aturan yang membedakan hal-hal yang patut dibedakan, rapang = yurisprudensi. Demikian pula jika ada masalah, menurut Lontara Wajo milik H. A. Makkaraka cara pengambilan keputusannya mensyaratkan 3 hal: (1) orang-orang yang bermusyawarah harus bersih dan suci dalam pandangan dewata (2) bilamana dicapai kata bulat atau mufakat, maka keputusan itu dinamakan tidak kuning, tidak putih, tidak merah dan tidak hitam artinya apa saja yang dimufakati bersama itulah yang ditetapkan sebagai adat yang digunakan dalam mengatur segala masalah, tetapi bilamana tidak dicapai kata mufakat, maka (3) pendapat yang paling banyak suara yang mendukungnya dinyatakan menang. Jadi cara mengambil keputusan dengan voting sudah dikenal di Wajo sejak abad XV, dan merupakan sesuatu yang unik di Indonesia pada zaman itu.

Dalam menjalankan pemerintahan seorang Arung Matowa Wajo tidak boleh bertindak sewenang-wenang, melainkan harus sesuai hukum adat dan kehendak rakyatnya. Pada saat arung matowa melanggar aturan, maka ia harus digugat oleh rakyat melalui wakil mereka yaitu Arung EnnengngE. Disamping lembaga yang menyerupai DPR tersebut, terdapat lembaga yang berfungsi mengangkat dan memberhentikan Arung Matowa yaitu Arung Bettempola Inanna LimpoE. Sementara itu susunan pemerintahan di kerajaan Wajo dikenal dengan nama Arung PatappuloE (raja yang empat puluh), yang menentukan hidup matinya kerajaan Wajo. Arung PatappuloE terdiri dari (1) Arung Matowa Wajo 1 orang (2) Ranreng atau kepala limpo (kampung) 3 orang dari 3 limpo (3) panglima perang 3 orang dari 3 limpo (4) mabbicara paddette bicara 12 orang dari 3 limpo (5) mabbicara pano’pete’bicara 18 orang dari 3 limpo (6) suro ri bateng 3 orang dari 3 limpo.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan di kerajaan Wajo adalah monarchi konstitusional yang mengarah pada penerapan unsur demokrasi. Dikatakan monarchi karena diperintah oleh seorang raja, konstitusional karena raja yang memerintah dibatasi oleh undang-undang atau aturan yang telah disepakati bersamai. ***